Seksisme dan Perkembangan Komunitas Feminisme di Media Sosial Indonesia (Komunitas Pop Culture Project)
Seksisme dan Perkembangan Komunitas Feminisme di Media Sosial Indonesia (Komunitas Pop Culture Project)
Dengan meluasnya dan semakin cepatnya arus informasi, pengaruh budaya pop bagi kehidupan masyarakat semakin meluas dan mengakar. Salah satu fenomena yang dapat kita lihat sekarang, bahwa budaya pop di masyarakat yang masih seksis yang boleh jadi merupakan implementasi dan pelanggengan dari nilai-nilai seksisme.
Budaya pop berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat luas, sesungguhnya budaya pop bisa dijadikan senjata untuk mengedukasi masyarakat tentang kesetaraan gender.
Meme yang tersebar di media sosial, salah satunya berbentuk kutipan seperti: bahwa hidup itu seperti diperkosa, tidak jelas waktunya, tidak enak, namun jika tidak bisa melawan maka dijalani saja. Bagi penyintas pemerkosaan, meme ini tentunya dapat memicu trauma
Adapula meme dalam bentuk gambar yang menyebut bahwa semakin terbuka pakaian seorang perempuan, semakin ia disayang oleh setan. Kemudian perempuan yang berjilbab namun belum sepenuhnya berjilbab pun kemudian terkena objektifikasi, seperti penyematan istilah jilboobs. Juga seperti ungkapan yang menyamakan perempuan tidak berpakaian tertutup dengan permen tanpa bungkus yang dihinggapi lalat: kotor.
Media sosial sekarang memang memegang peran dalam perkembangan budaya pop bagi para penggunanya, namun di luar media sosial, masih ada pergerakan iklan-iklan dan artikel-artikel yang juga memainkan perannya sebagai media berkembangnya budaya pop.
Standar kecantikan di Indonesia masih eurocentric . Hal ini, di antaranya, dibuktikan dengan banyaknya produk-produk yang mengklaim dapat memutihkan kulit. Perempuan yang masih minor pun tidak lepas dari penilaian masyarakat yang memuja kecantikan eurocentric. Contoh sebuah tulisan yang membandingkan foto Aurel Hermansyah saat masih duduk di bangku SMP – berkulit cokelat dan belum berdandan – dengan fotonya kini yang berkulit lebih putih dan sudah pandai berias.
Kini sangat mudah mengobservasi aspek-aspek budaya pop dari Internet. Melalui sebuah pencarian Google dengan kata kunci “cewek jilbab” dan “cewek tanktop”. Perempuan seperti tak peduli pakaiannya dan menjadi berpotensi menjadi korban objektifikasi . Pencarian Google ini memberi hasil konten-konten pornografi dan konten seksis lainnya.
Secara umum, remaja memiliki kecenderungan mudah terpengaruh, ia lebih mudah memahami feminisme dari budaya pop, yaitu seni. Budaya pop lebih bisa diterima karena kodratnya ringan dan mudah dicerna oleh semua orang, namun juga bisa digunakan untuk membungkus isu-isu yang serius. Hasil pencarian di Internet menunjukkan ada banyak portal feminis yang menerbitkan tulisan terkait feminisme .
Media sosial, yang sebelumnya ditunjukkan sebagai salah satu indikator budaya pop yang terpengaruh seksisme , sekarang memiliki gerakan-gerakan keadilan sosial di dalamnya. Contohnya adalah akun-akun yang menyebar konten feminisme dan blogger fashion yang menyajikan konten body positivity, sebuah pergerakan agar smeua orang mencintai tubuhnya, bagaimanapun bentuknya.
Pergerakan feminisme juga tampak di bidang seni, seperti pergelaran pameran fotografi bertajuk “api Kartini” yang memamerkan potret para wanita penyintas tragedi 1965 . Perempuan-perempuan ini tidak ditunjukkan sebagai sosok-sosok yang muram, namun tersenyum bahagia.
Sebuah video di Internet menampilkan beberapa wanita yang mengalami pengalaman kurang mengenakkan berhubungan dengan gender mereka, seperti dari yang paling umum seperti bullying karena bentuk badan kurang ideal, gaya rambut, cibiran karena perempuan islam tapi berpenampilan mirip “setan”. Mereka juga mengatakan bahwa kekerasan seksual tidak ada hubungannya dengan pakaian, yang jilbabnya panjang sekalipun ada yang menjadi korban pelecehan seksual. Video ini mendapat respon positif dari penyintas anoreksia , bulimia , dan korban pemerkosaan.
Ada juga beberapa komunitas yang concent terhadap isu-isu terkait budaya pop serta nilai-nilai seksisme yang kental dengan masyarakat seperti komunitas Pop Culture Project, mereka aktif mengemukaan pendapat, misalnya tentang iklan-iklan yang dinilai masih menjadi bukti adanya stereotip gender dan secara bersama-sama mereka merumuskan bagaimana seharusnya iklan tersebut tayang dengan mengedepankan kesetaraan gender di dalamnya. Mereka didorong untuk menyuarakan harapan mereka terkait fenomena ini dan output yang diharapkan ialah membuat budaya pop untuk menggaungkan kesetaraan gender.
Tulisan ini telah memaparkan realita orang-orang yang memperjuangkan feminisme di tengah seksisme yang masih kuat dalam budaya pop masyarakat, pada bagian akhir tulisan, penulis ingin memberikan komentar terkait realitas di atas, bahwa sejauh ini perempuan telah baik dalam memperjuangkan kesetaraannya walaupun sebenarnya negara kita benar-benar menjamin kesetaraan tersebut, tapi ternyata masih banyak yang merasa mengalami diskriminasi. Namun ada satu koreksi besar sekaligus masukan dari penulis, bahwa setiap usaha untuk mennyuarakan kesetaraan gender harus tetap dalam koridor budaya dan ajaran agama agar tidak kebablasan dan menjadi masalah baru.
Pernyataan sebagian besar perempuan yang menyalahkan anggapan bahwa pelecehan terhadap perempuan bukan karena pakaian juga tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, harus terjalin keharmonisan antar setiap elemen budaya agar keseimbangan tetap terjaga, di samping perempuan mendapat haknya untuk mengekspresikan tubuhnya dan menuntut laki-laki untuk tidak melecehkan mereka karena alasan-alasan seperti gaya busana yang dikenakan, sepatutnya perempuan juga sadar bahwa sejak lahir ia memiliki norma agama yang seharusnya mengakar kuat dalam diri tentang apa yang benar dan apa yang salah. Perempuan harus menyadari bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan wanita tidak serupa, mereka mempunyai batasan-batasan tersendiri, termasuk dalam hal mengekspresikan tubuhnya. Karena kita tidak sedang hidup di budaya barat, kita di Indonesia.